Kau Menulis Surat Padaku, Tapi Membakarnya Sebelum Kukenal Tintanya Kabut pegunungan Wuyi menyelimuti Puncak Giok bagai kain kafan. Angin ...

Dracin Populer: Kau Menulis Surat Padaku, Tapi Membakarnya Sebelum Kukenal Tintanya Dracin Populer: Kau Menulis Surat Padaku, Tapi Membakarnya Sebelum Kukenal Tintanya

Dracin Populer: Kau Menulis Surat Padaku, Tapi Membakarnya Sebelum Kukenal Tintanya

Dracin Populer: Kau Menulis Surat Padaku, Tapi Membakarnya Sebelum Kukenal Tintanya

Kau Menulis Surat Padaku, Tapi Membakarnya Sebelum Kukenal Tintanya

Kabut pegunungan Wuyi menyelimuti Puncak Giok bagai kain kafan. Angin dingin berbisik di antara pepohonan bambu, membawa gema masa lalu yang kelam. Lima tahun. Lima tahun lamanya Li Wei, sang jenderal muda kebanggaan Dinasti Tang, dinyatakan gugur dalam pertempuran melawan suku barbar. Lima tahun pula, Putri Mei Lian hidup dalam sunyi, hatinya terkubur bersama jasad yang tak pernah ditemukan.

Namun, malam ini, sosok itu berdiri di hadapannya. Siluetnya remang-remang diterangi lentera istana yang bergetar. Wajahnya tirus, matanya menyimpan luka yang lebih dalam dari perang. Li Wei. Dia kembali.

"Mei Lian," bisiknya. Suaranya serak, asing namun begitu familiar.

Putri Mei Lian memalingkan wajah. Lorong istana sunyi, hanya desiran angin yang terdengar. "Kau… hantu?"

"Hantu yang membawa jawaban atas pertanyaan yang kau pendam," jawabnya. "Pertanyaan tentang pengkhianatan, tentang konspirasi, tentang mengapa aku dibiarkan mati."

Mei Lian berbalik, menatapnya dengan sorot mata tajam. "Kau dibiarkan mati karena kau terlalu berbahaya, Li Wei. Ambisimu melebihi kesetiaanmu pada Kaisar."

Li Wei tertawa sinis. "Ambisiku adalah melindungimu, Mei Lian. Dari serigala yang mengincar tahta. Tapi kau… kau percaya pada bisikan mereka, bukan?"

Ia melangkah mendekat, bayangannya memanjang di dinding istana. "Kau menulis surat padaku, Mei Lian. Surat cinta… ataukah surat perintah kematian?"

Mei Lian terdiam. Jari-jarinya meremas lengan bajunya. "Surat itu… aku membakarnya. Sebelum kau bisa membacanya."

"Kau salah," bisik Li Wei, mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. "Aku membacanya, Mei Lian. Aku membaca semuanya dalam matamu. Surat itu adalah cermin dari jiwamu yang haus kekuasaan."

Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi Mei Lian dengan lembut. Sentuhan yang dulu membangkitkan gairah, kini hanya menimbulkan rasa dingin yang menusuk. "Kau pikir aku kembali untuk membalas dendam? Oh, tidak. Dendam terlalu sederhana untuk permainan yang kita mainkan."

Mei Lian menatapnya dengan ngeri. "Permainan apa?"

Li Wei tersenyum. Senyum yang tidak mencapai matanya. Senyum seorang raja. "Permainan di mana korban yang berdarah-darah, adalah dalang di balik layar sejak awal."

Ia mundur selangkah, bayangannya menelan Putri Mei Lian. "Kau telah melakukan semua yang aku inginkan, Mei Lian. Kaisar telah lengser. Kerajaan berada di ambang kehancuran. Dan kau… kau akan menjadi ratu di atas abu."

Li Wei berbalik, berjalan menjauh menuju kabut yang menunggu. Langkahnya ringan, penuh kemenangan. Sebelum menghilang sepenuhnya, ia menoleh sekali lagi.

"Kau tahu, Mei Lian," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku selalu membakar surat-suratmu. Aku hanya memastikan, bahwa abunya membara lebih lama dari cintamu."

Putri Mei Lian, sang ratu di atas abu, terdiam. Di lorong istana yang sunyi, ia menyadari bahwa dirinya hanyalah pion dalam permainan yang bahkan tak pernah ia mengerti. Dan dialah, sang jenderal yang "mati", yang memegang dadu!

You Might Also Like: 134 Kelebihan Pelembab Lokal Dengan

0 Comments: