Bayangan Itu Mengikuti Hingga Hari Penobatan, Menertawakan Janji Yang Tak Pernah Ditepati
Embun pagi merayap di kelopak bunga plum, selembut kain sutra yang membelai pipi. Namun, di balik keindahannya yang rapuh, tersembunyi rahasia yang menggerogoti hati Lan Xi. Dia, putra mahkota yang diagungkan, hidup dalam sangkar emas kebohongan. Senyumnya adalah topeng, setiap kata adalah belati yang diarahkan pada dirinya sendiri.
Sementara itu, di balik gemerlap istana, Li Mei, seorang dayang yang dulunya adalah sahabatnya, mengais kebenaran. Kebenaran yang pahit dan menghancurkan tentang kematian ayahnya, sang jenderal setia, dan peran Lan Xi di dalamnya. Dendam membara dalam hatinya, menyala lebih terang dari lilin-lilin istana.
Waktu berjalan bagai kura-kura yang terluka, setiap detik adalah siksaan. Lan Xi semakin terbenam dalam perannya sebagai pewaris tahta, sementara Li Mei semakin dekat dengan kebenaran. Pertemuan mereka dipenuhi dengan tatapan yang menyimpan badai, senyum tipis yang menyembunyikan rencana.
"Yang Mulia terlihat lelah," ujar Li Mei suatu senja, menyerahkan cawan teh. Kata-katanya lembut, namun mata elangnya menelisik ke dalam jiwa Lan Xi.
"Beban kerajaan memang berat," jawab Lan Xi, menyesap teh itu. Dia tahu Li Mei sedang mengujinya, mencari celah dalam pertahanannya.
Konflik memuncak menjelang hari penobatan. Li Mei menemukan surat wasiat ayahnya, bukti tak terbantahkan bahwa Lan Xi Telah mengkhianatinya demi kekuasaan. Dunia Li Mei runtuh. Kebenciannya mencapai titik didih.
Hari itu tiba. Di tengah kemegahan dan sorak sorai rakyat, Lan Xi naik ke singgasana. Dia mengangkat tangan, siap menerima mahkota. Tiba-tiba, Li Mei muncul dari kerumunan, wajahnya pucat pasi namun matanya membara.
"Jangan!!!" teriaknya, suaranya menggema di seluruh istana. "Dia tidak pantas! Dia pembunuh!"
Keheningan mencekam. Lan Xi membeku di tempatnya. Kebohongan yang selama ini dia bangun runtuh dalam sekejap. Semua mata tertuju padanya, penuh tanya dan curiga.
Li Mei membongkar kebenaran. Setiap kata adalah cambuk yang mencabik-cabik harga diri Lan Xi. Rakyat terkejut, para pejabat istana saling berbisik. Reputasi Lan Xi hancur berkeping-keping.
Balas dendam Li Mei tidak berdarah. Dia tidak membunuh Lan Xi. Dia hanya menghancurkan segalanya yang berharga baginya: Kepercayaan, Kekuasaan, Cinta. Dia meninggalkannya telanjang di hadapan kebenaran.
Lan Xi menatap Li Mei, air mata mengalir di pipinya. Dia mencoba meraih tangannya, namun Li Mei menghindar. Dia tersenyum, senyum yang hancur dan penuh perpisahan.
"Kau bukan lagi Lan Xi yang aku kenal," bisiknya, lalu berbalik dan menghilang di tengah kerumunan.
Lan Xi, yang seharusnya menjadi kaisar, kini hanya seonggok manusia yang kehilangan segalanya. Dia duduk di singgasana, mahkota tergeletak di kakinya, dan meratapi janji yang tak pernah ditepati.
Malam itu, istana sunyi senyap. Lan Xi ditemukan di taman, memandang bulan. Di tangannya tergenggam sehelai kain sutra berwarna plum, basah oleh embun dan air mata.
Apakah dia mati karena penyesalan, atau hanya karena kedinginan malam?
You Might Also Like: 0895403292432 Skincare Lokal Dengan
0 Comments: