Kau Menolak Bayaran Tambahan, Padahal Aku Ingin Membayar Dengan Cintaku
Lorong istana itu sunyi. Dinginnya batu pualam meresap ke tulang, seolah menyimpan dendam selama bertahun-tahun. Obor-obor di dinding menari-nari liar, bayangan mereka memanjang dan memendek, menciptakan ilusi makhluk-makhluk yang bersembunyi di balik kegelapan. Di ujung lorong, berdiri seorang pria. Bukan, lebih tepatnya, hantu seorang pria. Wajahnya pucat pasi, nyaris transparan, namun matanya... mata itu menyala dengan intensitas yang menggetarkan.
Dia adalah Lin, sang pangeran yang dikabarkan tewas sepuluh tahun lalu dalam pemberontakan. Namun di sini dia berdiri, di hadapan permaisuri, ibunya sendiri.
Permaisuri, yang selama ini dikenal dengan ketenangannya yang abadi, tertegun. Jari-jarinya mencengkeram erat sandaran kursi berlapis emas. "Lin? Mustahil… Kamu… kamu sudah…"
"Mati?" Lin menyelesaikan kalimat ibunya dengan nada sinis yang menusuk. "Benar, begitulah yang ingin Anda percayai, bukan?"
Kabut pegunungan yang memagari istana memang menyimpan banyak rahasia. Rahasia tentang darah yang tumpah, tentang ambisi yang membara, dan tentang cinta yang dikhianati. Dulu, sebelum dikirim ke medan perang, Lin mencintai seorang wanita. Seorang pelayan rendahan, namun hatinya sehangat matahari. Wanita itu, Mei, juga mencintainya. Mereka berjanji akan bertemu kembali, membangun hidup bersama setelah perang usai.
Namun perang itu tak pernah usai untuk Lin. Atau lebih tepatnya, ia dibuat seolah-olah tak pernah usai.
"Aku kembali, Ibu," ucap Lin, suaranya pelan namun menggema di seluruh lorong. "Bukan untuk balas dendam. Bukan untuk tahta. Aku kembali untuk mencari kebenaran. Mengapa… mengapa Anda mengkhianatiku? Mengapa Anda membunuh Mei?"
Permaisuri tertawa hambar. "Mei? Gadis itu hanyalah debu di bawah kakiku. Kau adalah pangeran, Lin. Kau pantas mendapatkan lebih dari itu."
"Lebih dari cinta? Lebih dari kesetiaan?" Mata Lin berkilat marah. "Dulu, aku mengira Anda melakukan ini demi tahta. Aku mengira Anda menganggapku ancaman."
Permaisuri tersenyum. Senyum yang lebih dingin dari batu pualam di sekeliling mereka. "Kau terlalu sederhana, Lin. Tahta hanyalah mainan anak-anak. Aku melakukan ini… demi cinta."
Lin mengerutkan kening. "Cinta? Cinta seperti apa yang membunuh wanita tak bersalah? Cinta seperti apa yang mengkhianati putranya sendiri?"
Permaisuri berdiri, mendekat pada Lin. Ujung jarinya menyentuh pipi Lin, sentuhan yang membuat Lin bergidik jijik. "Aku mencintai ayahmu, Lin. Aku mencintainya lebih dari apapun. Tapi dia lebih memilih ibumu, permaisuri yang sah. Dan kau, Lin… kau adalah cermin dari cintanya untuk wanita itu. Kau adalah pengingat dari kegagalanku."
Lin mundur selangkah. "Jadi, ini semua tentang kecemburuan?"
"Ya," jawab Permaisuri dengan tenang. "Dan kau, Lin, adalah korban dari kecemburuanku. Aku membayar pembunuh bayaran untuk memastikan kau tidak akan pernah kembali. Aku menawarkan mereka emas, permata, bahkan kekuasaan. Tapi mereka menolak bayaran tambahan…"
Lin terdiam, otaknya berputar. "Bayaran tambahan?"
Permaisuri tersenyum. "Ya, Lin. Mereka menolak bayaran tambahan karena… AKU SUDAH MEMBAYAR MEREKA DENGAN CINTAMU PADAMU, LIN. AKU MENGGUNAKAN CINTAMU UNTUK MENGHANCURKANMU."
You Might Also Like: 17 Best Neighborhoods In Toronto For
0 Comments: