Aroma dupa cendana menyesaki ruang kerja Gu Changfeng. Di luar, hujan musim semi membasahi paviliun tua yang menyimpan segudang naskah kuno. Gu Changfeng, seorang kaligrafer terkenal, duduk di depan meja, tangannya berhenti sejenak di atas gulungan kertas. Ada sesuatu yang ganjil dalam sapuan tintanya hari ini, sebuah ketidaktenangan yang membuatnya gelisah.
Sejak kecil, Gu Changfeng selalu merasa ada bayangan di balik ingatan-ingatannya. Potongan-potongan adegan aneh tanpa konteks: pedang berlumuran darah, wajah yang familiar namun asing, dan tatapan penuh PENGKHIANATAN.
Bayangan itu semakin kuat sejak ia bermimpi tentang Lan Xihua, seorang jenderal wanita legendaris di masa Dinasti Tang. Lan Xihua dikenal karena keberaniannya, kebijaksanaannya, dan – yang paling penting – kesetiaannya kepada Kaisar. Tapi dalam mimpinya, Lan Xihua mati di tangan orang yang paling ia percayai.
"Mungkinkah... mungkinkah aku Lan Xihua?" bisik Gu Changfeng pada dirinya sendiri. Ia menggelengkan kepala, berusaha menepis pikiran konyol itu. Namun, bayangan itu terus mengganggu.
Ia mulai meneliti sejarah Dinasti Tang, mencari jejak Lan Xihua. Semakin banyak ia membaca, semakin banyak pula potongan-potongan ingatan itu menyatu. Ia ingat pedang yang menusuk jantungnya, bisikan penuh racun, dan senyum... senyum menjijikkan Li Weiyang, tangan kanan sekaligus sahabatnya.
Li Weiyang. Nama itu terukir di benaknya seperti kutukan.
Reinkarnasi? Mungkin saja. Tapi bagaimana bisa ia membalas pengkhianatan yang terjadi seribu tahun lalu? Pembunuhan tidak ada dalam kamusnya. Balas dendam harus lebih... halus.
Gu Changfeng bangkit, mengambil gulungan kaligrafi yang telah ia kerjakan. Itu adalah surat rekomendasi untuk seorang pemuda berbakat bernama... Li Chen, keturunan langsung Li Weiyang. Pemuda itu bercita-cita menjadi jenderal, seperti leluhurnya.
Gu Changfeng tersenyum tipis. Ia tahu bahwa rekomendasi darinya akan membuka segala pintu bagi Li Chen. Ia juga tahu bahwa karir militer penuh dengan bahaya dan intrik. Ia tidak akan membunuh Li Chen, tidak secara langsung. Ia hanya akan memberinya kesempatan untuk menorehkan takdirnya sendiri... sebuah takdir yang mungkin akan membuatnya menyesali nama Li Weiyang.
Gu Changfeng membubuhkan tanda tangannya. Surat itu siap. Takdir telah dimulai.
Di luar, hujan mulai mereda. Matahari menyelinap di balik awan, menyinari paviliun dengan cahaya keemasan. Gu Changfeng menatap ke kejauhan, matanya memancarkan tekad dingin.
Pengkhianatan memang butuh waktu yang lama untuk terbalas, tetapi ingatlah… Takdir selalu punya cara untuk menagih hutang seribu tahun!
You Might Also Like: Peluang Bisnis Kosmetik Bisnis Tanpa
0 Comments: