Hujan merah. Di bawah payung yang tiba-tiba terasa begitu berat, aku melihat punggungmu menjauh. Warna crimson membasahi gaunku, seolah la...

Drama Abiss! Kau Meninggalkanku Di Bawah Hujan Merah, Tapi Aku Tetap Tersenyum Drama Abiss! Kau Meninggalkanku Di Bawah Hujan Merah, Tapi Aku Tetap Tersenyum

Drama Abiss! Kau Meninggalkanku Di Bawah Hujan Merah, Tapi Aku Tetap Tersenyum

Drama Abiss! Kau Meninggalkanku Di Bawah Hujan Merah, Tapi Aku Tetap Tersenyum

Hujan merah. Di bawah payung yang tiba-tiba terasa begitu berat, aku melihat punggungmu menjauh. Warna crimson membasahi gaunku, seolah langit ikut menangis menyaksikan pengkhianatan ini. Kamu, Li Wei, laki-laki yang kupercaya melebihi diriku sendiri, meninggalkanku.

Senyumku tak goyah. Mungkin sedikit bergetar, tapi tetap terukir di bibirku. Sebuah topeng. Topeng kesempurnaan yang selalu kubanggakan. Biarlah dunia melihat betapa tabahnya aku. Biarlah mereka mengira aku tidak merasakan apa-apa. Padahal, di dalam sana, jantungku remuk redam.

Dulu, pelukanmu adalah surga. Kini, aku tahu, itu adalah racun yang perlahan membunuhku. Sentuhanmu yang dulu membuatku merinding bahagia, sekarang terasa seperti sengatan lebah yang meninggalkan bekas permanen.

"Aku akan selalu mencintaimu, Mei," bisikmu waktu itu, di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran. Kata-kata itu sekarang terdengar seperti belati yang menghujam jantungku berulang kali. Janji yang kau ucapkan dengan begitu yakin, kini hanyalah serpihan kaca yang menusuk setiap kali aku mengingatnya.

Aku tidak menangis. Tidak. Aku adalah Mei Lan, putri keluarga terhormat. Aku tidak boleh terlihat lemah. Aku harus tetap berdiri tegak, meskipun badai menerjang. Aku akan membangun kembali diriku, bata demi bata, dengan fondasi yang lebih kuat. Tanpa dirimu.

Bertahun-tahun berlalu. Aku menjadi lebih kuat, lebih berpengaruh. Namaku menjadi legenda di dunia bisnis. Kamu? Kamu menikahi wanita pilihan keluargamu, wanita yang memiliki kekayaan dan kedudukan yang setara denganmu. Tapi aku tahu, jauh di lubuk hatimu, ada kekosongan yang tidak bisa diisi oleh siapa pun.

Aku melihatmu lagi di sebuah acara amal. Matamu berbinar saat melihatku. Kamu mendekatiku, mencoba menyentuh tanganku. Aku menghindar dengan elegan.

"Mei, aku—"

"Jangan katakan apa pun, Li Wei," potongku dengan suara sedingin es. "Aku tidak tertarik dengan penyesalanmu. Kau sudah membuat pilihan. Dan aku, aku membuat pilihanku sendiri."

Aku tersenyum. Senyum yang kali ini tulus, tapi menyimpan bahaya yang tak kasat mata. Aku tidak akan menghancurkan hidupmu. Tidak dengan kekerasan. Tidak dengan darah. Tapi aku akan memastikan, setiap kali kau menatap cermin, kau akan melihat bayangan dirimu yang telah menyia-nyiakan kebahagiaanmu. Kau akan hidup dengan penyesalan yang abadi. Penyesalan yang akan menggerogoti jiwamu sedikit demi sedikit, sampai tak ada yang tersisa.

Aku berbalik, meninggalkanmu berdiri terpaku di tempat. Di belakangku, aku mendengar suara langkah kaki yang terhenti. Aku tahu, balas dendamku telah sempurna. Manis, tapi pahit. Seperti anggur yang difermentasi terlalu lama.

Di bawah rembulan yang pucat, aku bergumam pada diriku sendiri: Cinta dan dendam, ternyata lahir dari tempat yang sama, bukan?

You Might Also Like: Climate Change Could Devastate Emperor

0 Comments: