Ia Menatap Foto Lama, Lalu Matanya Crash
Malam itu, seperti ribuan malam sebelumnya, membentang panjang dan kelam bagai kain beludru yang tak berujung. Di balik jendela besar yang memantulkan bayangannya sendiri, Mei Lan berdiri. Hujan salju turun dengan ganas, menutupi taman istana dengan lapisan putih yang dingin dan sunyi. Sama sunyinya dengan hatinya.
Di tangannya, tergenggam sebuah foto usang. Kertasnya rapuh, warnanya pudar, tapi senyum di wajah dua insan di sana tetap membekas. Ia dan He Qing, sepuluh tahun lalu. Mereka muda, penuh janji, dan buta oleh cinta yang terasa abadi.
Udara di ruangan itu pengap, dipenuhi aroma dupa cendana yang menyengat. Aroma yang selalu mengingatkannya pada malam itu, malam ketika He Qing pergi, meninggalkan Mei Lan dengan hati yang hancur dan sebuah rahasia yang membara dalam diam.
"He Qing..." bisiknya, suaranya serak tertelan gemuruh badai.
Ia memejamkan mata. Kilasan demi kilasan memori membanjiri benaknya. Tawa mereka di bawah pohon sakura, janji setia di tepi danau, dan kemudian... darah di salju. Ingatan itu menyakitkan, membakar ulu hatinya dengan amarah yang tak pernah padam.
Dulu, ia mencintai He Qing dengan segenap jiwa. Tapi sekarang, yang tersisa hanyalah kebencian. Kebencian yang sedalam lautan, setajam pisau. Kebencian yang membuatnya rela menunggu selama sepuluh tahun untuk membalas dendam.
Ia membuka mata. Matanya kini dingin, setajam es. CRASH. Sesuatu di dalam dirinya patah. Senyum sinis merekah di bibirnya.
Ia meletakkan foto itu di atas meja. Di sebelahnya, tergeletak secarik surat. Surat wasiat He Qing, yang baru saja tiba beberapa jam lalu. Surat yang mengungkap kebenaran pahit, kebenaran yang selama ini disembunyikan rapat-rapat oleh keluarga He.
"Jadi, selama ini... kau hanya pion dalam permainan mereka?" desis Mei Lan.
Dalam surat itu, terungkap bahwa He Qing dijebak oleh ayahnya sendiri, dipaksa menikahi wanita lain demi menyelamatkan bisnis keluarga. He Qing memilih pergi, melindungi Mei Lan dari bahaya yang mengintai. Tapi, ia tak pernah tahu bahwa keputusannya justru menghancurkan Mei Lan lebih dari apapun.
Mei Lan meraih cangkir teh porselen di atas meja. Teh itu pahit, tapi ia meneguknya hingga tandas. Pahitnya tak sebanding dengan pahitnya kenyataan.
Ia berjalan ke arah perapian. Di sana, tergeletak pedang pusaka keluarga Mei. Pedang yang telah lama berkarat, kini terasah kembali. Pedang yang akan menjadi saksi bisu dari balas dendamnya.
Dendam ini telah lama ia pendam, seperti bara api di bawah abu. Kini, api itu menyala, membakar habis semua sisa-sisa cintanya pada He Qing. Ia tak lagi peduli dengan kebenaran. Ia hanya ingin membalas sakit hatinya, membalas pengkhianatan ini.
Esok pagi, ketika matahari akhirnya berhasil menembus badai salju, keluarga He menemukan He Qing tergeletak tak bernyawa di ruang kerjanya. Di dadanya, tertancap sebilah pedang pusaka yang sudah sangat dikenalnya. Di sampingnya, tergeletak selembar kertas. Di atasnya, tertulis satu kata: LUNAS.
Mei Lan menatap istana yang kini bersimbah darah. Ia menarik napas dalam-dalam. Balas dendamnya telah usai. Tapi, hatinya tetap kosong.
Ia berbalik, melangkah pergi, meninggalkan istana dan semua kenangan pahit di belakangnya. Di wajahnya, tak ada penyesalan. Hanya ada kehampaan.
"Darah dibalas darah, air mata dibalas air mata, janji dibalas abu..." gumamnya.
Tapi, siapa yang akan membalas hatinya yang telah hancur berkeping-keping?
Dan di kejauhan, angin dingin berbisik, membawa serta janji kematian yang belum terucap.
You Might Also Like: Rahasia Dibalik Tafsir Melihat Kambing
0 Comments: