Kaisar Itu Menutup Mata, dan Dunia Pun Ikut Redup Istana megah berbalut sutra dan emas, namun malam ini, dinginnya menembus tulang. Kaisar...

Seru Sih Ini! Kaisar Itu Menutup Mata, Dan Dunia Pun Ikut Redup Seru Sih Ini! Kaisar Itu Menutup Mata, Dan Dunia Pun Ikut Redup

Seru Sih Ini! Kaisar Itu Menutup Mata, Dan Dunia Pun Ikut Redup

Seru Sih Ini! Kaisar Itu Menutup Mata, Dan Dunia Pun Ikut Redup

Kaisar Itu Menutup Mata, dan Dunia Pun Ikut Redup

Istana megah berbalut sutra dan emas, namun malam ini, dinginnya menembus tulang. Kaisar Agung, Yang Mulia Li Wei, terbaring lemah di ranjangnya. Senyum tipis menghiasi bibirnya, sebuah senyum yang menipu dunia tentang badai yang berkecamuk di hatinya.

Di sampingnya, berdiri permaisuri, Selir Zhao, anggun dalam gaun phoenix-nya. Matanya berkilat seperti batu giok yang baru diasah, menyimpan rahasia kelam di baliknya. Tangannya menggenggam tangan Kaisar, sebuah pelukan yang terasa beracun di kulit Li Wei.

Dahulu kala, pelukan Selir Zhao adalah kehangatan yang menenangkan jiwanya, tempat ia berlindung dari intrik istana. Dulu, suara lembutnya adalah melodi yang menenangkan, dan janjinya adalah benteng yang tak mungkin runtuh. Namun kini, semua itu hanyalah bayangan masa lalu, janji yang berubah menjadi belati yang ditikamkan tepat ke jantungnya.

"Wei... ku mohon bertahanlah," bisik Selir Zhao, air mata buatan mengalir di pipinya. Li Wei memandangnya dengan tatapan tenang, namun dalam. Tak ada amarah, tak ada teriakan. Hanya kelelahan. Ia tahu. Ia sudah lama tahu. Kebenaran pahit tentang pengkhianatan yang merajalela di istana ini.

Li Wei ingat malam itu, di bawah rembulan yang sama, ia bersumpah untuk mencintai Selir Zhao selamanya. Ia memberikan seluruh hatinya, kekuatannya, dan kerajaannya. Namun, ia lupa satu hal: cinta di istana seringkali hanyalah alat untuk meraih kekuasaan.

"Zhao..." suara Li Wei nyaris tak terdengar. "Aku... aku memberikan segalanya padamu."

Selir Zhao menunduk, menyembunyikan senyum kemenangannya. "Aku... aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu, Yang Mulia."

Li Wei menutup matanya. Redup. Istana terasa membeku. Dunia kehilangan warnanya.

Berita kematian Kaisar menyebar seperti api. Selir Zhao, dengan air mata yang dipaksakan, naik tahta menjadi Ibu Suri yang berkuasa. Kekuatan kini sepenuhnya berada di tangannya.

Namun, tak lama kemudian, sebuah dekrit keluar dari ruang kerja Kaisar yang baru dilantik, Kaisar muda yang merupakan putra mahkota dari selir lain yang setia kepada Li Wei. Dekrit itu mengumumkan penemuan surat-surat pengkhianatan Selir Zhao, yang membuktikan bahwa ia telah bersekongkol dengan musuh untuk menjatuhkan kerajaan.

Selir Zhao tidak dihukum mati. Tidak ada darah yang tumpah. Hukuman baginya jauh lebih menyakitkan. Ia diasingkan ke kuil terpencil di pegunungan, hidup dalam kesunyian dan penyesalan abadi, menyaksikan dari kejauhan kejayaan kerajaan yang seharusnya menjadi miliknya. Ia hidup, tetapi jiwanya mati.

Di makam Kaisar Agung Li Wei, seorang pelayan meletakkan setangkai bunga plum putih, bunga kesukaan Kaisar. Ia membisikkan sebuah kalimat yang tak akan pernah didengar oleh siapapun:

"Yang Mulia, balas dendam Anda terasa manis... sekaligus pahit."

Cinta dan dendam... lahir dari tempat yang sama.

You Might Also Like: Jual Skincare Non Komedogenik Untuk

0 Comments: