Aku Mencintaimu dalam Sunyi, Karena Hanya Sunyi yang Bisa Memahami
Hujan gerimis membasahi Kota Terlarang, senada dengan air mata yang tak pernah berhenti mengalir di hatiku. Mei Hua dan aku, tumbuh bersama di balik tembok istana yang megah namun dingin. Saudara? Teman? Lebih dari itu. Kami adalah dua sisi mata uang, terikat takdir dan... rahasia.
"Anggrek," bisiknya suatu senja, menyebut nama panggilanku dengan suara selembut sutra. "Bulan ini purnama. Indah, bukan?"
Aku hanya tersenyum, menatap matanya yang sekelam malam. Indah? Bukankah justru saat bulan purnama, semua bayangan menjadi lebih panjang, lebih menakutkan? "Kau menyukainya, Mei Hua?"
"Lebih dari yang kau tahu," jawabnya, senyumnya tipis, seperti garis luka yang belum sembuh.
Kami dilatih bersama, diasah menjadi pedang kembar. Dia, dengan anggunnya yang mematikan; aku, dengan ketenangan yang menipu. Kami adalah andalan Kaisar, senjata rahasia Dinasti. Tapi di balik latihan pedang dan senyum palsu, tumbuh benih terlarang. Aku mencintainya. Dalam sunyi. Karena hanya sunyi yang bisa memahami betapa gilanya perasaan ini.
Namun, kebahagiaan itu rapuh. Kabar pengkhianatan mencuat, mengoyak istana menjadi kepingan-kepingan prasangka. Seseorang membocorkan rencana Kaisar kepada pemberontak. Seseorang yang sangat dekat.
"Siapa?" tanyaku padanya, suatu malam di bawah rembulan yang sama. Suaraku bergetar, menahan badai di dalam dada.
"Kau ingin tahu?" Mei Hua tertawa, suara yang membuat darahku membeku. "Sungguh?"
Hari-hari berikutnya adalah labirin intrik dan kebohongan. Aku menyelidiki, mencari jejak, mencoba menyingkap kebenaran. Semakin dalam aku menggali, semakin jelas bayangan Mei Hua di balik setiap jejak. Apakah mungkin? Gadis yang kucintai, gadis yang selalu ada di sisiku, adalah pengkhianat?
Kebenaran terungkap di malam pertumpahan darah. Pemberontak menyerbu istana. Kaisar terdesak. Aku, dengan pedang di tangan, melindungi tahtanya. Lalu, aku melihatnya. Mei Hua, berdiri di belakang pemimpin pemberontak, senyum kemenangan terukir di wajahnya.
"Mengapa?" tanyaku, suaraku parau, nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk pertempuran.
"Kau terlalu naif, Anggrek," jawabnya, matanya dingin, tanpa sedikit pun penyesalan. "Aku bukan hanya ingin melindungimu, tapi... aku menginginkan semuanya. Tahta ini, kekuasaan ini... bahkan cintamu."
Ternyata, selama ini aku hanyalah pion dalam permainannya. Dia menggunakan cintaku, kepercayaanku, untuk mencapai tujuannya. Dia membenci Kaisar yang telah membunuh keluarganya, dia membenci istana yang telah merenggut kebebasannya, dan dia... membenciku karena aku terlalu setia pada Kaisar.
Balas dendam menjadi satu-satunya jalan. Aku mengangkat pedangku, bukan lagi untuk melindungi Kaisar, tapi untuk menghukum pengkhianat. Pertarungan kami adalah tarian kematian, pedang beradu, cinta dan benci bercampur menjadi satu.
Di akhir pertarungan, kami berdua terluka parah. Mei Hua terbaring di tanah, napasnya tersengal. Aku berlutut di sampingnya, menatap matanya yang perlahan meredup.
"Kau tahu?" bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku... selalu mencintaimu... dengan cara yang salah."
Air mata menetes di pipiku. Balas dendamku terasa pahit. Kebenaran ini, terlalu menyakitkan.
Kutipan yang tertulis di dinding istana yang berlumuran darah itu berbunyi, "Cinta seorang raja adalah kutukan, dan cinta seorang pengkhianat adalah kematian."
"Mungkin... memang seharusnya begini," gumamku, sebelum kegelapan menelanku.
Aku mati dalam sunyi, karena hanya sunyi yang bisa memahami betapa dalamnya penyesalanku.
You Might Also Like: English Speaking Practice Did Spiros
0 Comments: